Aktivitas Gunung Merapi akhir-akhir ini memang dianggap sebagai kejadian luar biasa yang tercatat abad ini. Sekian banyak rentetan erupsi terjadi, puncaknya terjadi pada saat aktivitas erupsi salama hampir 1,5 jam. Status awas yang sudah lebih dari 2 minggu diterapkan mengharuskan wilayah dalam radius 20 km dari puncak Merapi dikosongkan. Lereng Merapi pun berubah dari desa-desa yang subur, berubah menjadi desa mati yang seolah tak ada tanda-tanda kehidupannya lagi.
Fenomena alam kali ini tentu saja menimbulkan banyak dampak. Ratusan ribu penduduk harus mengungsi. Mayoritas dari mereka berhenti dari aktivitas pekerjaan yang biasanya dilakukan. Lahan pertanian dan tanaman rusak. Hal ini mengakibatkan aktivitas pertanian dan perdagangan sempat lumpuh, diikuti naiknya harga sayuran.
Keadaan ini jelas menyulitkan warga untuk dalam kegiatan ekonominya. Selain di bidang pertanian dan perdagangan, para penambang pasir dan batu tradisional yang sehari-hari bekerja di badan sungai juga harus kehilangan pekerjaannya. Kondisi sungai yang penuh dengan pasir dan masih terlihat uap menyembul ke udara adalah alasannya. Tidak mungkin mereka mulai bekerja dengan kondisi yang sewaktu-waktu masih bias berubah.
Di samping itu hujan abu, pasir bahkan kerikil di beberapa tempat di sekitar Merapi juga mengakibatkan beberapa rumah warga roboh karena tidak kuat menahan massa dari muntahan merapi tersebut. Lahar dingin yang melewati beberapa kali yang berhulu di Merapi membuat beberapa jembatan jebol.
Akses jalanpun juga tertutup oleh material Merapi sehingga mengganggu pengguna jalan. Bahkan beberapa jalan di desa-desa tidak bias dilewati karena terhalang oleh pohon-pohon yang tumbang dan beberapa tiang listrik yang roboh.
Namun melimpahnya material Merapi dimana-mana tidak hanya membawa dampak negatif. Pada dasarnya material letusan Merapi yang berupa pasir dan batu memiliki nilai ekonomi. Sehingga siapapun yang bisa mengelolanya akan mendapat keuntungan besar. Hanya saja, warga di sekitar lereng Merapi harus bersabar.
Berdasarkan yang diamati oleh penulis di sepanjang jalan Jogja-Magelang banyak sekali orang yang membersihkan materal tersebut berada di tepi jalan dan juga terlihat banyak sekali bak truk yang sudah penuh terisi oleh pasir. Penulis menyebut fenomena ini sebagai penambangan pasir di jalan.
Karena umumnya penambangan pasir dilakukan di sungai-sungai, namun kali ini di jalanpun orang sudah bisa menambang pasir. Begitulah, Alloh itu Maha Adil. Setelah musibah, Dia memberikan berkah yang tak terhingga nilainya.
Kembali ke persoalan kerusakan akibat letusan Merapi. Duka menyelimuti warga sekitar Merapi. Meskipun banyak yang mengatakan kesejahteraan mereka lebih terjamin jika di pengungsian, tetapi batin tetap berkata tidak. Hidup di pengungsian berarti tidak bisa melakukan aktivitas normal seperti ketika masih di rumah sendiri.
Kerinduan akan rumah terkadang bisa sampai membuat pengungsi menjadi stres jika tidak tahan. Karena pemulihan psikis lebih susah daripada rekonstruksi hal yang bersifat mental. Hal inilah yang sebenarnya membutuhkan penanganan lebih. Karena, meskipun mereka bisa mengaktifkan pekerjaannya lagi, tetapi tidak akan maksimal jika mentalnya terganggu.
Mereka tetap ingin keadaan kembali seperti semula, bekerja seperti hari-hari sebelumnya, mengurus ternak mereka dan menikmati sejuknya alam merapi yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Kondisi ini tentu tidak akan bisa kembali dengan mudah. Perlu waktu untuk memulihkan pada kondisi semula.
Keadaan yang begitu kontras, di satu pihak ada kelompok yang makin sejahtera karena material dari letusan merapi di sisi lain warga menangis kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Alangkah baiknya jika pemerintah ikut berperan untuk setidaknya memperkecil ”jarak” diantara mereka. Karena masa-masa pengungsi kembali pasca letusan adalah masa yang rawan terhadap kecemburuan social.
Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah adalah menetapkan peraturan agar aktifitas penambangan dengan menggunakan alat berat (modern) tidak boleh dilakukan sebelum penduduk yang kehilangan tempat tinggal atau tempat tinggalnya mengalami kerusakan akibat letusan Merapi mendapatkan bahan untuk (berupa pasir atau batu) untuk mendirikan rumah kembali.
Sangat tidak manusiawi jika korban Merapi yang sudah mengalami kesedihan karena kehilangan pekerjaan bahkan trauma dengan aktivitas vulkanik Merapi harus dibebani lagi dengan masalah renovasi rumah. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari semua yang terjadi. Wallahua’la
Trias Mira Hastuti
Mahasiswi FIP Universitas Negeri Yoryakarta
Aktifis Reality Writing Clubs (RWrC)