VIDEO #1 (Maret) - 29 cara untuk menjadi kreatif

Menuju (Republik) Indonesia

Kamis, 28 Oktober 2010

Tanggal 28 Oktober 1928 menjelma menjadi sebuah peringatan setiap tahunnya. Lewat rapat kepemudaan sejak Sabtu, 27 Oktober 1928, para peserta kongres pun “menuju Indonesia". Dalam artikel berjudul “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia”di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928, dituliskan, “Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen…Dalam kesempatan ini pun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu INDONESIA RAJA”.


Bagi negeri ini, peristiwa Sumpah Pemuda yang disebut Mohammad Hatta sebagai letusan sejarah memang fenomenal. Dalam buku Dasar-dasar Indonesia Merdeka versi Para Pendiri Bangsa, S. Silalahi, M.A., menuliskan, “Kongres dipimpin oleh Sugondo Joyopuspito dari PPPI. Kongres didahului dengan pembacaan amanat tertulis dari Ir. Soekarno, Perhimpunan Indonesia yang berkedudukan di Negeri Belanda, dan amanat Tan Malaka.”(S. Silalahi, M.A, Dasar-dasar Indonesia Merdeka versi Para Pendiri Bangsa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cetakan I 2001), hlm.17). PPPI singkatan dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Adapun Mohammad Yamin menjadi sekretaris Kongres Pemuda II.


Terkait Mohammad Yamin, ada sajak “Indonesia, Tumpah Darahku” yang dianggitnya pada 26 Oktober 1928. Salah satu bait dalam sajak yang terdiri 88 bait itu, berbunyi: Lihatlah kelapa melambai-lambai/Berdesir bunyinya sesayup sampai/Tumbuh di pantai bercerai-berai/Memagar daratan aman kelihatan/Dengarlah ombak datang berlagu/Mengejari bumi ayah dan ibu/Indonesia namanya, tanah airku.


Mohammad Yamin pernah menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia. Tan Malaka pernah membuat menulis Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Mestika Zed (2008) menyebut Tan Malaka menjadi tokoh negeri yang pemikirannya mengenai imagined commmunity Indonesia mendahului tokoh-tokoh lainnya. Tulisan Tan Malaka itu, kata Asghar Saleh (2009), menginspirasi Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) pada 1928 dan Soekarno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933). Menurut Sayuti Melik, Bung Karno kerap membaca dan membawa buku Tan Malaka.


Diutarakan Silalahi, M.A di atas bahwa pembukaan Kongres Pemuda II juga dibacakan amanat Tan Malaka. Nah, apa isi amanat itu? Ya, entahlah. Yang jelas isi Sumpah Pemuda yang “menuju Indonesia” berbunyi begini:Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Kelak negeri ini menuju Republik Indonesia.


Tulisan ini hanya ingin memaparkan serpihan sejarah. Mohon maaf jika ada kekurangan di tengah “kehijauan” penulis. Apa yang bisa dipetik dari tulisan di atas? Historia docet. Wallahu a’lam.


Hendra Sugiantoro

Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

READ MORE - Menuju (Republik) Indonesia

API SEJARAH


“Jika telah berhasil mendudukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembarig, Tumasik telah tunduk, saya barn akan beristirahat”. (Gajah Mada)

Kawan, itu adalah mimpi Gajah Mada, sebuah keinginan yang meluap pada tahun 1334 menjadi sebuah sumpah. Karena dalam mimpinya, ia memiliki tekad yang sangat kuat, sekuat baja! Saat, itu semua orang terperangah, menertawakan mimpi yang terlampau tinggi. Saat itu, orang yang ada disekitar masih berfikir perjuangan yang sempet belum menyentuh pada wawasan geografis dan persatuannya.

Waktu kemudian menjawab, mimpi Gajah Mada semakin dekat dengan kenyataan. 1928! Sungguh gagasan besar itu memiliki rentang waktu yang lama, lima abad lebih! Generasi 28 menyambung dan memperjelas cita-cita Gajah Mada, hingga tepat tanggal 28 Oktober 1928, pemuda bangsa pun bersumpah. Betanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kemudian ambisi besar itu baru benar-benar menjadi kenyataan di tahun 1945.

Sejarah telah mengajarkan kita untuk tidak berputus asa akan nasib bangsa ini, bahkan semiris apa pun kondisi negeri ini. Kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyembuhkan luka sejarah tersebut. Tak peduli berapa waktu yang kita habiskan untuk itu. Kemukakan gagasan-gagasanmu, biarlah orang tertawa mendengarnya, biarlah orang melihatmu penuh ketidakyakinan, karena sejarah telah mengajarkan kita! Bangkit Pemuda Indonesia, Kobarkan Api Sejarah Itu !!!

“Kebangkitan suatu bangsa di dunia selalu bermula dari kelemahan. Sesuatu yang sering membuat orang percaya bahwa kemajuan yang mereka capai kemudian adalah sebentuk kemustahilan. Tapi, di balik anggapan kemustahilan itu, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan, dan ketenangan dalam melangkah telah mengantarkan bangsa-bangsa lemah itu merangkak dari ketidakberdayaan menuju kejayaan.” (Hasan Al-Banna)

Endah Sri Rahayu, PLB ‘07
READ MORE - API SEJARAH

Evaluasi Relevansi dan Efisiensi Kunjungan DPR

Sabtu, 23 Oktober 2010


Dalam pandangan masyarakat, DPR tak lagi menjadi lembaga yang disegani sebagai wakil rakyat. DPR telah memasuki ranah pencitraan yang kurang baik dalam pandangan rakyat. Hal ini terkait dengan beberapa kebijakan DPR tentang suatu masalah yang cukup kontroversial dan terdengar tidak adil.

Bahkan, terkadang dianggap tidak adil dan tidak memihak rakyat kecil. Padahal, peran DPR adalah sebagai kepanjangan tangan dari rakyat. Yang semestinya mengolah aspirasi rakyat ke dalam program besar pengentasan ketertinggalan dan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kunjungan DPR ke beberapa negara tetangga beberapa waktu yang lalu patut kita jadikan acuan permasalahan DPR. Bagaimana seorang wakil rakyat itu harus bersikap terhadap permasalahan dan solusi.

Bukannya kita harus melarang kunjungan, tentu tidak akrena kunjungan bisa membuka jalur kekeluargaan dan kerjasama. Misalnya saja kemungkinan kerjasama dalam bidan kehidupan yang vital. Tetapi, bukan masalah kerjasama usaha ataupun kemungkinan pengentasan kemalasan. Tetapi, bagaimana program yang bagus dari negara tetangga itu bisa dilaksanakan dan optimal.

Di saat rakyat masih banyak yang tak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, kunjungan yang menghambur-hamburkan uang kita rasa tidak perlu. Apalagi dengan mengajak keluarganya, tentu saja hal ini menjadikan sorotan negative ditujukan pada anggota DPR. Terkait kesadaran dan perbaikan itu bukan masalah kita, kesadaran kita adalah memberikan kritikan sebagai salah satu proses menuju perbaikan bangsa.

Karena, jika tak ada kritik kita khawatir DPR semakin tidak memiliki kepekaan terhadap permasalahan intern bangsa. Kunjungan kerja sebagai salah satu program andalan, seharusnya digunakan sebagai sarana refreshing sekaligus belajar dari pengalaman daerah lain.

Sehingga, komunikasi yang dibentuk tidak sekedar lobi-lobi kecil yang hanya memfasilitasi kebutuhan bisnis mereka. Kelonggaran tentang kejelasan jalannya acara akan memberikan celah untuk dimanfaatkan oleh oknum untuk kepentingan pribadi di atas uang rakyat. Bukankah ini memilukan?

Apalagi, kunjungan itu dibersamai oleh anak, istri maupun kerabat yang lainnya. Fakta ini memberikan vonis pada mereka bahwa agenda kunjungan digunakan sebagai kesempatan untuk berlibur bersama keluarga. Apalagi, acara akan kacau ketika anak-anak yang belum bisa mengendalikan diri ikut membersamai. Tentu masyarakat akan menyangka bahwa ada udang di balik batu, ada tujuan lain dalam kunjungan.

Fakta ini mencoreng citra DPR sehingga dijuluki Dewan Penggagas Rekreasi. Sebuah ironi tentang betapa lalainya pemimpin di dewan memperhatikan rakyat sedang tercekik oleh kebijakan pemerintah. Sedangkan mereka malah bepergian dengan dana yang cukup membuat rakyat miskin tak bisa membayangkan seberapa tinggi jika disusun ke atas uang tersebut.

Nah, pada evaluasi program kunjungan dinas, sudah seharusnya DPR mengedepankan aspek relevansi dan efisiensi program. Bahwa setiap program seyogyanya dipikirkan dengan mencocokkannya dengan kondisi masyarakat. Jangan sampai rakyat sakit hati dengan ketimpangan pengeluaran ini.

Prinsip efisiensi diterapkan dalam rangka untuk menggunakan uang rakyat dalam rangka kemaslahatan bersama. Kepentingan yang mendesak dan tidak mendesak harus dicermati dalam mengalokasikan anggaran. Jangan sampai dewan terkesan kebingungan menggunakan anggaran sehingga membuat program fiktif dengan kedok kunjungan.

Ketika kebijakan kunjungan itu telah direvisi dengan menggunakan prinsip relevansi dan efisiensi maka kinerja dewan akan semakin membaik. Dan kita bisa dengan tenang menanti realisasi perubahan dan perbaikan setelah kunjungan tersebut. Kalau tidak, saya kira semua sepakat jika program kunjungan dikurangi, atau dibubarkan.

Isdiyono, Kepala Bidang Media dan Jaringan

UKMF Penelitian Reality FIP UNY 2010

READ MORE - Evaluasi Relevansi dan Efisiensi Kunjungan DPR